Srikandi, wanita perkasa lainnya.

“Jaman disik iseh cilik di jodohke,
Wedi dadi prawan kasep alesane,
Neng saiki jamane wis tambah maju,
Lanang wadon padha sregep ngoyak ilmu,
Jaman disik wong wadon sabane pawon..
Pengen yekel buku wae ora klakon,
Neng saiki jamane wis mardika,
Lanang wadon drajate wis padha,
Mbak Erna, dadi sarjana muda,
Mbak Nur,lulus titel insiyur,
Mbak Yuni, teges dadi ABri,
Mujudake cita-cita Kartini”

Itulah sepengal lagu yang berjudul padha Pintere yang dilagukan oleh Didi Kempot. Bukan tanpa arti, namun mengandung segenggam kisah yang menarik. Ketika kisah itu kembali di buka lebar-lebar, ada sebuah cerita tentang “mban cinde mban siladan” antara yang laki-laki dengan wanita. Dimana kepekaan dan kepintaran hanya sebuah icon laki-laki, sementara wanita hanya “konco wingking” yang mempunyai kehidupan sendiri. Dengan dunia yang berbeda dengan pria. Bukan tanpa alasan memang, tapi bukan berarti harus mengekang. Bukan tanpa arti sebenarnya, namun tidak berarti harus disamaratakan.

Pergolakan itu muncul akibat ekses yang semu, yang menganggap wanita seorang tunduk dan lemah. Ketika semua dibuka selebar-lebarnya, mulailah timbul kemerdekaan tentang kebebasan, dimana pria dan wanita ‘padha pintere’. Bahkan mengalahkan ‘den bei’ yang sebenarnya adalah punggawa berpendidikan.

Srikandi, nama itu tak asing di telingan orang indonesia. Sehingga menjadi icon sebuah kekuatan tentang wanita yang tangguh. Hampir setiap pergolakan dan pergerakan dengan atas nama wanita, nama Srikandi ini muncul. Dan menjadi simbol kekuatan sebuah tokoh wanita. Sebenarnya siapa Srikandi? Apakah di antara wanita tangguh sekarang layak menjadi icon Srikandi?

Srikandi yang mempunyai banyak versi cerita, namun kesamaan semua pada letak keberanian menentang ‘negara mawa tata’ yang telah ada. Sedikit dari cerita wayang yang mengisahkan tentang kesatriya wanita. Srikandi lahir dari keluarga kerajaan, dimana dia tidak suka bermain layaknya wanita. Kebiasaan memengang senjata panah dan menaiki kuda ketika itu Srikandi menjadi murid Arjuna yang kemudian menjadi suaminya. Menjadikan ia bukan wanita yang ‘biasa’, yang menjadi sosok yang lembut dan duduk-duduk di singgasana. Namun lebih dari itu, Srikandi ingin bahwa wanita tidak harus lemah di hadapan Pria.

Dalam perang Baratayudha, Srikandi menjadi ‘sesepuh’ dan ‘tuladha’ bagi kebanyakan prajurit wanita yang ada. Setiap pergerakannya di contoh olah wanita lainnya, Srikandi juga bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Bahkan kisah peperangan yang memenangkan Pandawa atas Kurawa tidak lepas dari usaha Srikandi dalam peperangan. Dimana setelah Bisma dapat disingkirkan dari perang Kurusetra, yang berdampak besar pada perubahan strategi dan semangat kesatriya Kurawa.

Setelah Srikandi mampu membuat terjatuhnya Bisma, porak porandalah Kurawa dimana saat itu menjadi awal kekalahan Kurawa di perang medan Kurusetra. Bisma, seorang kesatriya sekaligus guru yang tangguh, dimana tak seorang pria pihak Pandawa mampu membuatnya tersingkir. Tidak Arjuna yang terkenal dengan bidikan panah, Tidak Kresna dengan keahlian startegi perang senjata cakra dan keturunan dewa. Bukan pula Resi Seta yang merupakan seorang Raja kerajaan Wirata.

Tapi, seorang Senapati wanita seperti Srikandi lah yang menjadi awal babak kemenangan Pandawa pada perang Baratayudha. Hampir-hampir mustahil, seorang Jendral seperti Bisma tersingkir dari Peperangan hanya karena wanita bernama Srikandi, bahkan tanpa perlawanan sedikitpun. Ketika anak panah meluncur dari busur Srikandi, meluncur ka arah Bisma dengan cepatnya. Tidak Bisma melawan atau menghindari anak panah itu, Bisma hanya diam menyambut anak panah dari Srikandi.

Srikandi, sebuah icon dan simbol tentang wanita perkasa lainnya. Tidaklah karena dilahirkan menjadi seorang wanita, ia menjadi lemah. Bukan kasta seorang wanita menjadikan Srikandi tidak berbuat bagi negaranya. Tidak pula simbol wanita menghalanginya untuk belajar sama seperti pria. Bukan Srikandi ketika harus menyarah dan tanpa berbuat. Bukan karena atas nama wanita, ia harus menyerah dengan keadaan bawaan. Bukan alasan bernama kelemahan wanita, ia harus berada di belakang layar.

Sekarangpun, setelah kebebasan dan kesamaan antara pria dan wanita, banyak wanita tangguh yang menjadi simbol kemajuan bangsa. Menjadi pengerak ekonomi rumah tangga. Banyak wanita tangguh yang hadir dalam percaturan politik, hadir dalam dunia pendidikan dan masih banyak lainnya. Bahkan melebihi pria, hanya porsinya tidak sebanyak pria pada kondisi tertentu. Namun tidak berarti wanita tangguh mengorbankan sebuah kondrat menjadi wanita, yaitu ibu yang luar biasa. Mendidik keluarga,dan menjadi penyejuk rumah tangga.

Namun, tidak sedikit pula wanita yang dengan kebebasannya tidak layaknya Srikandi. Justru ia menjadi simbol Sengkuni-isme yang jahat dan licik. Dari mereka pulalah, nama wanita hancur dan menjadi bahan tertawaan. Tidak membangun namun menghancurkan, tidak menyejukkan tapi membuat runyam, tidak memberikan keteladaan namun keburukan.

Bgaimanapun juga, simbol Srikandi akan terus ada di antara wanita yang tangguh. Akan didapati lebih banyak wanita tangguh laksana Srikandi di tahun-tahun mendatang. Bukan hanya ‘konco wingking’ namun lebih dari itu, menjadi Srikandi di kehidupan nyata.

(Menyambut Cita-cita Kartini)

Baca Juga : Kunti Ibu Pandawa

About Alif Kecil

Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti.

Posted on 20 April 2010, in Perenungan and tagged , , , , , , , . Bookmark the permalink. 5 Komentar.

  1. semoga semakin banyak srikandi di indonesia

  2. wah sebentar lagi hari Kartini yach ?, semoga kartini2 muda dan srikandi2 muda bermunculan.

    salam,
    bernadusnana

  3. @ KoroPedang. Yaap, mudah2an saja… berharap wanita2 di indonesia menjadi penyejuk nusantara.

  4. @ Nana. Besok hari…
    Betul…,Bukan hanya sekedar momen tahunan, namun juga menumbuhkan semangat juang… ^_^

  1. Ping-balik: Keraton Yogyakarta : Istana Budaya dan Keindahan Jawa | nikioliversykes95

Tinggalkan komentar