Laksamana Muslim Cheng Ho

Cheng Ho, adalah seorang pelaut dan penjelajah Cina terkenal yang melakukan pelayaran jelajah samudra antara tahun 1405 hingga 1433.  Cheng Ho memang dari keluarga muslim. Ia anak dari Haji Ma Ha Zhi dan ibu dari marga Oen (Wen) di Desa He Tay, Kabupaten Kun Yang. Cheng Ho merupakan salah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan yang baik kepada Kaisar Cina Yongle yang berkuasa dari tahun 1403 hingga 1424 yang merupakan kaisar ketiga dari dinasti Ming.

Cheng Ho mempunyai nama asli Ma He, juga dikenal dengan sebutan Man Sanbao, yang berasal dari provinsi Yunnan. Cerita berawal ketika Yunnan dalam masa ekspansi kekaisaran Min, Cheng Ho muda ditangkap  dan kemudian di jadikan kasim. Cheng Ho seorang yang bersuku Hui, yang secara fisik hampir mirip dengan suku Han yang mempunyai agama islam.

Cheng Ho berlayar di Malaka pada abad ke-15, saat itu seorang putri cina bernama Hang Li Po (Han Lui) dikirim oleh kaisar cina untuk menikah dengan Raja Malaka yang bernama Sultan Mansur Shah. Pada tahun 1424 Kisar Yong le wafat, dan yang mengantikannya adalah kaisar hongxi yang berkuasa dari tahun 1424 hingga tahun 1425, memutuskan untuk mengurangi pengaruh kasim di lingkungan kerajaan. Cheng Ho melakukan satu ekspedisi lagi pada kekuasaan Kaisar Xuande yang berkuasa dari tahun 1426 hingga tahun 1436.

Cheng Ho melakukan ekspedisi ke barbagai tempat di Benua Asia dan Afrika antara lain Asia tenggara, Sumatera, Jawa, Srilangka, Hindia, Persia, Teluk Persia, Arab, laut Merah lalu menuju daerah utara sekitar Mesir, Afrika hingga selat Mozambik. Sejarah mencatat bahwa Laksamana Muslim Cheng Ho melakukan tujuh kali pelayaran yang sangat mengagumkan, bahkan melebihi pelayaran Columbus pada masa itu.

Armada yang digunakan berisikan sekitar 30 ribu orang dan tujuh kapal yang berlayar. Sebuah ekspedisi yang sangat menajubkan dari seorang muslim bernama Cheng Ho.  Dalam petualangan sebagai Laksamana Laut, Cheng Ho banyak mendapat penghargaan dari utusan yang di singgahinya sekitar 30 kerajaan di berbagai penjuru dunia. Majalah Life menempatkan Laksamana Muslim Cheng Ho sebagai nomor empat belas (14) orang penting dalam millenium terakhir, luar biasa. Perjalanan Cheng Ho ini menghasilkan Peta Navigasi Cheng Ho yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan.

Cheng Ho mengunjungi kepulauan di Indonesia selama tujuh kali. Ketika perjalanan menuju Samudra pasai, ia memberi sebuah lonceng raksasa Cakrado kepada sultan Aceh. Beberapa daerah yang disinggahi Cheng Ho seperti di Cirebon yang terdapat bukti peninggalannya seperti piring  yang bertulisakan ayat kursi.

Dalam berbagai cerita sejarah, seorang armada Cheng Ho sakit dan harus berhenti disuatu tempat tak lain adalah Simongan yang terletak di Kota Semarang. Dan sempat menetap di sana, sebagai bukti peninggalan di Simongan terdapat peninggalan Cheng Ho yang bernama  Klenteng Sam Po Kong. Banyak kalangan menyebutnya dengan Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong.

Dalam semua ekpedisi pelayaran dunia, tak bisa melepaskan sebuah nama bernama Cheng Ho. Namanya bisa disandingkan dengan Bartolemeus Dias, Marco Polo, Vasco da Gama, Christopher Colombus,dan lainnya.  Nama-nama pelaut bangsa Eropa yang sudah tersohor. Namun para petualang laut itu masih sangat kecil bila dibandingkan dengan nama Laksamana Muslim Cheng Ho. Sejarah juga mencatat bahwa kapal laut Cheng Ho 7 kali lebih besar dari kapal yang digunakan Culombus, si penemu benua Amerika.

Laksamana Muslim  Cheng Ho benar-benar merupakan raja laut dalam arti yang sesunguhnya. Sementara para pelaut dari Eropa boleh disebut sebagai penjelajah semata. Perbandingan itu bisa dilihat dalam jumlah awak kapal yang mereka bawa. Bartolemeus Dias, orang pertama yang melintasi ujung selatan Afrika (Tanjung Harapan) hanya menggunakan tiga kapal jenis Caravel yang berisi 170 orang.

Sementara perjalanan Christopher Colombus yang memulai pelayaran 3 Agustus 1492 juga menggunakan tiga kapal buatan bangsa Spanyol. Pertama, kapal Santa Maria, kapal terbesar yang dinahkodai Colombus sendiri. Dua kapal lainnya adalah Nina dan Pinta yang lebih kecil. Jumlah awak kapal tiga bahtera itu hanya 104 orang.

Coba lihat armada Laksamana Muslim Cheng Ho. Jumlah armadanya mencapai 357 kapal dengan 30 ribu awak kapal. Bukan itu saja, ada 62 kapal Cina berukuran besar yang disebut Jung, panjangnya mencapai 132 meter dengan lebar 54 meter. Itu jelas lebih besar dibandingkan kapal-kapal bangsa Eropa yang berukuran separuh atau bahkan seperlima lebih kecil dibandingkan jung Cina. Amazing!

Sejarah juga mencatat yang disampaikan oleh Gavin Menzies, pensiunan Komandan Kapal Selam Angkatan Laut Inggris. Menzies menjelaskan bahwa Cheng Ho yang pertama kali menemukan Benua Amerika, bukan Colombus.  Menzies menegaskan, Colombus justru berlayar dengan bekal peta lama buatan Cina. “Ketika para awak kapalnya gelisah, Colombus hanya meyakinkan, terus saja ke barat, nanti pasti akan sampai.”
Peta itu diyakini sebagai peta yang dibuat berlayar para pelaut Cina. Apalagi peneliti lain, Cedric Bell, menemukan reruntuhan kota kuno di Cape Breton, Nova Scotia, pantai timur Kanada. Kawasan itu ternyata memiliki tembok keliling dengan arsitektur Cina. Temuannya itu kemudian disebut Nova Cataia atau New Cathay.

Menurut sejarawan Slamet Muljana dalam bukunya “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara” (Jakarta: 1968), dalam misi pelayarannya itu Cheng Ho pernah singgah di Indonesia seperti di Samodra Pasai (Aceh), Palembang, Cilincing (Jakarta), Gunung Talang (Cirebon), Gedung Batu (Semarang), dan Surabaya. Pengamat sejarah Cina dan juga penulis cerita silat Cina, Gan Kok Hwie dari Semarang menjelaskan, Cheng Ho dalam misinya juga mengajarkan penduduk setempat soal bertani, membuat rumah, sampai dengan pertukaran budaya.

Sisa-sisa pengaruh peradaban Cina yang dibawa Cheng Ho yang muslim itu bisa dilihat dari gaya arstitektur masjid dan menara masjid di Jawa. Atap-atap pelana kuda mirip kelenteng, dan menara masjid mirip pagoda; merupakan pengaruh Cina. Bukan itu saja, bedug yang digantungkan di masjid-masjid di Jawa – kemudian juga di Indonesia – merupakan perkusi khas Cina.

Dari berbagai sumber..

Baca Juga:

  1. Jejak Cheng Ho di Semarang.
  2. Semua tentang tempat menarik di Semarang.
  3. Museum Jawa Tengah Ranggawarsita.
  4. Lawang Sewu yang Unik dan Artistik.
  5. Menelisik Masjid Kuno Semarang.
  6. Masjid Agung Jawa Tengah Megah Di Malam Hari.
  7. Masjid Agung Jawa Tengah : Dari Berbagai Sisi .
  8. Pantai Marina Semarang.
  9. Pantai Maron Semarang.
  10. Keraton Surakarta : Perpaduan Kemegahan Eropa dan Keunikan Jawa.

…………………………………………

About Alif Kecil

Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti.

Posted on 8 Oktober 2010, in Intisari and tagged , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink. 4 Komentar.

  1. Jika kita belajar dari sejarah laksamana ceng ho, maka banyak sisi positif yang dapat kita petik. tapi belajar sejarah bukan hanya sekedar kita tahu, namun lebih dari itu, hendaknya dapat dijadikan landasan memperkuat komitment dalam mengambil kebijakan, termasuk memperkuat infrastruktur pelayaran tentunya. semoga saja pihak2 yang berkompeten di bidang ini mulai arif dan bijaksana. insya Allah.

    • Cheng Ho, seorang pelayar muslim yang melegenda. Sosok pemimpin yang mampu berkomitmet tinggi dan mempunyai intregitas yang luar biasa. Indonesia perlu mencontoh Laksamana Muslim Cheng Ho dalam memerintah dan membuat kebijakan-kebijakan negara..

    • Cheng Ho Tak Mampir di Semarang
       Oleh: Saifur Rohman
      MENITI tulisan Sumanto Al Qurtuby bertajuk “Cheng Ho, Islam, Indonesia” (SM, 15/6) membuat saya tak bisa menahan diri untuk berdiam atau sekadar membiarkannya berlalu. Pada dasarnya Qurtuby memberikan sketsa kebudayaan yang beranjak tujuh kali perjalanan Cheng Ho ke seluruh dunia, termasuk ke Nusantara, pada kurun waktu 1405-1433. Dikatakan, “terdapat bukti sejarah yang tak terbantahkan sebagai pengaruh muhibah Cheng Ho.”
      Kemudian dia menyebut Kelenteng Sam Po Kong sebagai jejak kesejarahan yang memperkuat mampirnya Cheng Ho di Gedongbatu, Semarang. Bisa diberikan keterangan pendek sebelum tulisan ini dipaparkan, kiranya tidak bisa dibayangkan bila pada awal muhibah pada 1405 Cheng Ho langsung menuju Semarang sebagai target perjalanan. Padahal menengok Semarang pada awal abad ke-15 adalah daerah tak bertuan, karena Kerajaan Demak belum tampil dan Majapahit masih menjadi bermahadiraja. Baru pada 1478 M tercatat sebagai tahun pendirian Kerajaan Demak.
      Karena itu, betapapun besarnya perayaan yang akan dilangsungkan 7 Juli 2005 di Kelenteng Sam Po Kong, tetap saja harus dibaca sebagai upaya memperkukuh dua pengandaian.
      Pertama, andai saja muhibah itu terjadi pada 1405, dan andai saja laksamana muslim yang hidup pada Dinasti Ming itu memang berkunjung ke Semarang. Perihal pengandaian pertama, laporan paling mutakhir diturunkan majalah Time berjudul “Out to Sea with The Great Ship” (edisi 20-27 Agustus 2001). Laporan itu diawali dengan kalimat mirip puisi tentang kebesaran Cheng Ho yang mampu melawan badai, rasa sakit, dan keadaan yang tidak menentu di tengah-tengah samudera.
      Di tengah-tengah puisi, penulis Tim McGirk menyatakan dengan tegas, “More than 300 vessels with some 30.000 men sailed in the first imperial expedition in 1405 (kolom 1).” Karena itu, dikatakan bahwa Cheng Ho adalah penjelajah pertama kali dan memiliki awak terbesar sepanjang sejarah. Untuk memperkuat dugaannya, kemudian dia membandingkan dengan penjelajah lain setelah itu. Setelah ekspedisi pertama Cheng Ho pada 1405, Christopher Columbus baru melakukan penjelajahan pada 1492 dan menemukan daratan Amerika. Setelah Columbus, Vasco da Gama yang berkebangsaan Portugis memulai pada 1497, Ferdinand Magellan berkebangsaan Portugis baru pada 1519, dan Francis D Frake berkebangsaan Inggris menjelajah pada 1567.
      Alih-alih disamai, separuh kapal dan awak kapal yang dibawa Cheng Ho itu pun tetap lebih besar dibanding para penjelajah setelahnya. Cheng Ho adalah kata kunci bagi sejarah kebesaran China yang bisa ditemui jejaknya di pelbagai belahan Nusantara.
      Perihal pengandaian kedua, teks kontemporer yang bisa dirujuk adalah novel Remy Silado bertajuk “Sam Po Kong: Perjalanan Pertama” (2004). Ceritera yang pada mulanya sebagai cerbung (cerita bersambung) di Suara Merdeka (2003) itu mengisahkan perjalanan seorang jenderal besar bernama Cheng Ho ke Semarang. Cerita ini dilatarbelakangi oleh kesadaran historis, yang tidak sekadar berpegang pada deskripsi geografis yang bersifat diakronis, tetapi juga mitos-mitos yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
      Sebuah dialog menarik terjadi antara Laksamana Cheng Ho dengan syahbandar pelabuhan Quinh No. Disebutkan oleh pencerita, pelabuhan tersebut merupakan pertemuan antara China selatan dengan Nusantara (2004: 124). Sebelum berpamitan, syahbandar sekali lagi menanyakan kepergiannya. Dengan mantap Cheng Ho berujar bahwa dia bersama ratusan awak kapalnya akan berlabuh ke Asem Arang. Perhatikan, idiom yang disebut penutur merujuk pada etimologi Kota Semarang, sebagaimana masyarakat Kota memercayai morfofonemik “Semarang” berasal dari dua morfem “Asem” dan “Arang” (Bahasa Jawa: pohon asam yang jarang).
      Kedatangan Cheng Ho di Asem Arang itu semakin diyakinkan melalui konflik dengan kekuasaan Majapahit, terutama dengan Raja Wikramawardhana. Berbeda dengan cerita yang berkembang di masyarakat, bahwa Sam Po Kong adalah gelar Cheng Ho sebagai tokoh yang dipuja. Dalam cerita ini Sam Po Kong digambarkan sebagai anak buah Raja Majapahit yang siap mengadang Laksamana kapan saja, dan Wu Ping selaku pengikut setia Laksamana akan siap membela atasannya sampai mati.
      Narasi yang dibangun Silado bukanlah paparan yang semata-mata ditelorkan dari angan-angan yang lepas dari kenyataan. Bila gagasan Hans Robert Jauss tentang perspektif kesejarahan dalam karya sastra itu bisa diterapkan, maka novel Sam Po Kong -sekalipun tidak bisa dijadikan sebagai data sejarah- adalah butir-butir kenyataan yang diikat melalui serangkaian mitos-mitos agar tafsir bisa berjalan.
      Ketidakpastian
      Armada yang dimpimpin Laksamana Cheng Ho disebut-sebut menyamai armada Jepang dan Spanyol selama Perang Dunia II. Kapal yang digunakan sang Laksamana memiliki panjang sekitar 130 meter, lebar 60 meter, dan digerakkan dengan teknologi kelautan yang begitu canggih pada masanya. Dengan 300 kapal, sebagaimana dicatat oleh WP Groenevelt, seorang Chinolog dan Indonesiolog, dalam Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinesse Source (1877), Cheng Ho melakukan pelayaran selama tujuh kali selama 25 tahun, yakni antara 1407-1432. Jumlah pelayaran itu dibenarkan pula oleh catatan Melayu yang bertajuk Tuanku Rao (1964) oleh MO Parlindungan. Akan tetapi, baik catatan Melayu maupun sumber Groenevelt yang berasal dari China daratan tidak memastikan tahun-tahun Cheng Ho berlabuh.
      Ketidakpastian tahun-tahun keberangkatan itu sama tidak pastinya dengan tempat-tempat yang disinggahi, terutama ketika harus menyebut Kota Semarang. Gedongbatu, Kecamatan Semarang Barat, yang saat ini berada sekitar 15 km dari bibir laut disebut-sebut sebagai tempat pendaratan Cheng Ho dan balatentaranya.
      Hal itu konon terbukti dengan hadirnya Kelenteng Sam Po Kong yang disebut-sebut sebagai petilasan Cheng Ho. Keislamannya dibuktikan dengan adanya makam Islam di sisinya yang dipercayai sebagai juru mudi sang Laksamana. Ceritera yang turun-temurun itu setidaknya dikukuhkan oleh Amen Budiman melalui Semarang Riwayatmu Dulu (1978). Menurutnya, jenazah yang beristirahat di bawahnya adalah Dampo Awang, juru mudi sang Laksamana yang memeluk agama Islam.
      Dalam mitologi Jawa, tokoh Dampo Awang selalu muncul di sejumlah tempat di pesisir utara pulau Jawa. Di Jepara, Rembang, dan Tuban dipercayai terdapat jangkar milik Dampo Awang.
      Kecuali itu, sebuah argumentasi menarik dipaparkan HJ de Graaf dan Th Pigeaud, pakar sejarah Jawa yang disetarakan dengan Raffles, dalam laporan Chinesse Muslims in Java in the 15th Centuries: The Malay Annals of Semarang and Cerbon (1984). Dia mengkaji secara kritis Catatan Melayu yang disusun Parlindungan. Paparan kronologis itu berujung pada simpulan bahwa Laksamana Cheng Ho tidak pernah mampir di Semarang. Argumentasi ini didasarkan atas dua hal. Pertama, tidak ada bukti-bukti tertulis, baik dalam Catatan Cina maupun dalam Catatan Melayu tentang persinggahan Sang Laksamana. Kedua, tidak ada satu situs pun yang “mencurigakan” sebagai jejak-jejak mereka sehingga bisa menyakinkan. De Graaf berulang kali menandaskan dalam simpulannya, “Kapal Cheng Ho meninggalkan Fukkien bukan sebelum Januari tahun 1414 (ini adalah awal ekpedisi keempatnya) dan Ma Huan (juru bahasa muslim dan pembantu sang Laksamana serta penulis jurnal ekspedisi) tidak menyebut Kota Semarang di antara empat kota Jawa yang dia sebutkan, sehingga pernyataan bahwa Cheng Ho di Semarang selama satu bulan tidak mungkin benar (2004: 56).”
      Pernyataan tersebut tidak mengagetkan, karena Semarang pada abad ke-15 adalah sebuah wilayah yang “tidak dikenal” oleh para pendatang asing, karena letaknya menjorok ke dalam dan tidak ada daya tarik secara ekonomi dan politik. Pada masa itu, keruntuhan
      Mahapahit pada awal abad ke-15 sekaligus memindahkan pusat pemerintahan dari Jawa Timur ke Demak; itu pun puluhan tahun setelah Cheng Ho meninggal sekitar tahun 1440. Kendati disinyalir kerajaan Majapahit masih beroperasi pada pemerintahan Ratu Suhita (1429-1447) sampai akhir abad ke-15, namun Demak berupaya melakukan klaim kemenangan dengan menuliskan candra sengkala untuk keruntuhan Majapahit yang berbunyi “sirna ilang kertaning bumi” (sirna= 0, ilang = 0, kertaning= 4, bumi =1), yang bisa dibaca sebagai tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi.
      Walhasil, menjadi jauh kemungkinannya bila Cheng Ho singgah di sebuah pesisir yang tidak ramai. Sebab, di samping pemerintahan Demak belum terbentuk dan pusat kekuasaan masih berada di bawah tampuk pemerintahan Raja Wikramawardahana, juga alasan perbekalan yang harus dipenuhi Cheng Ho sebelum berlayar kembali.
      Justru satu-satunya kota di Jawa yang disebut dalam sumber China dan catatan Melayu adalah Jepara, sebuah kota kabupaten di pesisir utara Jawa Tengah, sekitar 78 km dari Semarang. Pada masa itu (abad ke-15), Kabupaten Jepara masih menjadi sebuah pulau dengan batas lautan berada di wilayah Demak. Kota itu telah menjadi pelabuhan internasional karena di sebelah utara Jepara terdapat pula situs peninggalan ekpedisi Alfonso Darlbuquerque berkebangsaan Portugis, diperkirakan pada abad ke-15.
      Lagi pula, kota Jepara bagi komunitas China bukanlah wilayah asing untuk persinggahan. Pada abad ke-8, para penjelajah China sudah mendiami kota di lereng gunung itu. Harian Locomotief yang terbit di Semarang pernah menurunkan artikel bertajuk “Japaraís Verleden” (Jepara di Masa Lalu) pada 4-5 Maret 1931. Disebutkan, “Jepara atau Djapara letaknja ada di tanah pegoenoengan Moeria . . . Satoe antara itoe warta penting jang terdapet di ini bilangan adalah kota dapetken satoe formulier soempah dalem Kawiorkonde tahun 762 Caka. Dari dalam tanah telah dapet digali banjak sekali persolein-porselein Tionghoa koeno yang indah. Di antara dongengan yang tersiar, ada ditjeritakan tentang satu pelgrim (pendita) Tionghoa doeloe telah diapatken katjilakaían dengan ia poenja kapal di Jepara, kemoedian di Welahan ia dapetken banyak moerid.”
      Dengan alasan itu pula, Liem Thian Joe dalam Riwajat Semarang (Dari Jamannja Sam Poo Sampae Terhapusnja Kongkoan) (1931) menulis bahwa pendatang Tionghoa yang menetap di Semarang bukanlah Cheng Ho, melainkan Sam Po Tay Jien. Mereka berdua diutus oleh Dinasti Ming untuk mencari batu permata ke Nan Yang (Asia Tenggara). Adanya kelenteng di gua tersebut, katanya, menandai keberadaan komunitas Sam Po pada masa itu, sedangkan makam Islam yang terdapat tak jauh dari lingkungan kelenteng adalah juru mudi Sam Po yang beragama Islam.
      Keterangan Thian Joe tampak ahistoris dan bertolak belakang dengan de Graaf dan Catatan Melayu. Menurut de Graaf, kelenteng di Gedongbatu didirikan oleh Gan Si Cang, anak bupati Tuban Gang Eng Cu yang murtad dari Islam. Dia kemudian ditunjuk menjadi Kapitan Cina non-Islam di Semarang oleh bapaknya. Keterangan ini selaras dengan laporan Catatan Melayu, bahwa Gan Si Cang memiliki saudara bernama Kin San, yang pada akhirnya ditunjuk ayahnya untuk menjadi penguasa Islam di Semarang. Kin San di kemudian hari dikenal dengan nama Raja Husein. Pemerintahan Raja Husein ini memiliki jalur koordinasi dengan pemerintahan Demak yang dipegang oleh Jin Bun (Raden Fatah) yang masih satu saudara dengan Gan Eng Cu maupun Kin San.
      Bila melihat masa kekuasan Raden Fatah, maka Gan Si Cang, si Kapitan China non-Islam itu mestinya juga hidup pada masa itu dan menjadi wajar bila akhirnya membangun komunitas kelenteng di Gedongbatu, yang jauh dari pusat pemerintahan Islam. Adapun perihal makam Islam yang dikeramatkan itu bisa disusun keterangan bahwa pemukim di Gedongabtu bukanlah komunitas yang homogen, karena tidak semua pendatang China yang semula berada di Jepara pada abad ke-8, kemudian pindah ke Gedongabatu abad ke-15 dan ke-16, sampai akhirnya ke kawasan Johar pada abad ke-19, adalah penganut Kong Hu Cu. Apalagi masing-masing masa dipengaruhi oleh kekuasaan yang mampu melakukan subordinasi pada komunitas yang bernaung di bawahnya.
      Sulitnya, titik-titik terang historis yang diharapkan mampu membuka tabir kegelapan telah membeku menjadi mitos-mitos yang bertebaran di sana-sini atas nama peringatan dan perayaan. Perlawanan terhadap mitos adalah keberanian membongkar lapis demi lapis ketidaksadaran kolektif dan menata dalam satu jalinan yang lebih terang. Begitulah, catatan ini tidak bermaksud menutup kemungkinan perihal kedatangan Cheng Ho di daratan Semarang pada awal abad ke-15, tetapi keyakinan yang terlampau besar hanya akan menafikan data-fata yang berkeliaran di luarnya. (24)
      -Saifur Rohman, alumnus Pascasarjana Ilmu Susastra UI, kini menetap di Semarang.

  2. USULAN JARINGAN TRANSPORTASI AIR DI KAWASAN EKS PLG BLOK A
    Konsep Struktur Ruang Di Dalam Sistem Tata Air
    Didalam sistem tata air internal pada saat ini telah dikembangkan pusat-pusat pelayanan yang tersusun secara berjenjang (hirarkis). Pusat pelayanan dikembangkan secara berjenjang mulai dari Pusat Pelayanan Lingkungan, Pusat Pelayanan Tingkat Desa (UPT), dan Pusat Pelayanan setingkat Ibukota Kecamatan (IKK), sedangkan jaringan prasarana transportasinya memanfaatkan saluran pengairan yang fungsinya berjenjang pula, yaitu saluran kwarter, tersier, sekunder dan primer utama.

Tinggalkan komentar